אֹהֵב פֶּשַׁע אֹהֵב מַצָּה מַגְבִּיהַּ פִּתְחֹו מְבַקֶּשׁ־שָׁבֶר׃
Tawuran sebagai tindak kekerasan dimulai dari pertengkaran yang diselesaikan dengan duel kekerasan, sehingga ini adalah cermin pragmatis penyelesaian masalah yang sering kali didengar, dilihat, dialami yang menjadi tradisi sehingga senantiasa menghiasi wajah pendidikan yang berdampak kepada banyak aspek.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan paling tidak ada empat kategori dampak negatif, yaitu :
- Cedera atau bahkan tewas dimana pelajar (dan keluarga) yang terlibat perkelahian { dan atau yang berpapasan dan atau yang ada disekitar lokasi karena salah sasaran}
- Rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan.
- Terganguunya proses belajar di sekolah.
- Berkurang { dan atau rusaknya} penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain.
- { Hal lain-lain, misal memperlambat arus lalu-lintas -> kemacetan, meningkatnya kecemasan ...... }
- Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan
- Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
- Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
- Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
- Hadirnya Fenomena tawuran dalam sosial-politik dalam kecenderungan kebisuan, apologi dan ketidaktegasan yang memberi inspirasi pelajar.
- Masalah kurikulum.
- Kekerasan yang terjadi yakni kekerasan seksual, fisik dan psikis yang cenderung meningkat di kalangan anak-anak dan usia dini.
- Hilangkan budaya OSPEK di Sekolah.
- Canangkan kembali Program “Penataran P4″ Untuk siswa baru (pengganti ospek).
- Galakkan Pertukaran Pelajar di berbagai wilayah, karena pelajar lain bukanlah musuh, tapi kawan.
- Hukuman dalam bentuk “Pelayanan Masyarakat” selama 1 tahun(dilaksanakan setelah jam sekolah).
- Kohlberg mengkelompokkan kaum muda pada tingkat perkembangan moral keempat: orientasi hukum dan ketertiban (law and order orientation). Usaha-usaha konformitas mendominasi dirinya; bagaimana ia dapat menjalankan tugas kelompoknya dengan sebaik-baiknya, walaupun itu negatif, tawuran, misalnya. Baginya, ikut tawuran adalah pertimbangan moral yang paling tepat.
- Menurut teori perkembangan kepribadian Erikson, seorang muda akan memasuki masa kekaburan identitas. Ia menjadi sadar bahwa dunia yang didiaminya kompleks; jawaban-jawaban yang diperolehnya pada masa kecil kini tidak memadai. Pertanyaan who am I semakin menguat.
- Richard Logan, mengutarakan bahwa pada masa ini, akan ada suatu mekanisme pertahanan untuk mengurangi kecemasan yang timbul akibat kekaburan identitas, yaitu munculnya identitas negatif. Identitas negatif ini akan menjadi pelarian dan barang pengganti atas kecemasan akan kekaburan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas negatif adalah tawuran itu.
- Robert Selman, yang mengembangkan teori perkembangan penalaran sosial (social reasoning) dan interpersonal mengelompokkan kaum muda ke dalam tingkat penalaran sosial keempat, yaitu pengambilan pandangan yang dalam dan simbolis (indepth and societal-symbolic perspective thingking). Namun disayangkan saat ini bukanlah periode emas untuk kaum muda ( jeunesse d’ore) karena miskin interaksi ini, mau tidak mau, akan berpengaruh pada ketika ia memasuki masa muda. Bisa jadi, orang muda ini belum mampu membina interaksi dan menyikapi masalah-masalah dalam interaksi sosial, sehingga berakhir pada tindakan yang tidak bijaksana, tawuran.
- J. Drost SJ mengungkapkan bahwa sebenarnya, hanya 30% siswa SMU sekarang yang benar-benar mampu engikuti kurikulum 1994. Sisanya akan keteteran. Padahal, tuntutan untuk menaati kurikulum dan mencapai prestasi yang terbaik terus menekan mereka. Tekanan ini akan terakumulasi dan dapat muncul dalam identitas negatif; salah satunya adalah meluapkan emosi dalam wujud tawuran.
- Secara instingtif, manusia membutuhkan kekerasan untuk mempertahankan hidupnya. Secara psikologis, kekerasan/tawuran bisa muncul ke permukaan dalam bentuk sebuah aksi (agresi) maupun reaksi atas aksi seperti halnya seseorang membunuh agar ia tidak terbunuh. Siapapun kita, apapun status kita, bisa melakukan tindak kekerasan ataupun tawuran, baik itu secara individual maupun secara kolektif (massal). Jika sekelompok individu melakukan kekerasan atau tawuran secara bersamaan, inilah yang disebut kekerasan kolektif, baik dilakukan oleh sekelompok remaja ataupun sekelompok orang banyak (crowd). Bentuk aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki, menghina, mengejek dsb.) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, melempar batu, membunuh, dll.)
Dengan terbiasanya peristiwa tawuran maka pelajar mempersiapkan diri dengan aneka ilmu bela diri, ilmu kebal dan aneka sarana peralatan untuk membela dari dan menyerang sehingga memiliki kecenderungan membuka celah masuknya kekuatan yang bersifat adikodrati - supra natural serta okultisme yang menambah panjang kompleksitas permasalahan.
Mengigat tawuran sesuatu yang sangat sulit dicegah dan diberhentikan maka pendidikan mental-spiritual harus diperhatikan lebih serius bukan puas dalam situasi kegiatan ritual keagamaan semarak namun moral-spiritual sekarat. Untuk itu di kalangan keluarga Kristen dapat melakukan seperti :
- Mezbah Keluarga
- Membaca, merenungan Firman Allah.
- Berdoa dan menyembah Tuhan
- Lakukan Firman Tuhan menjadi teladan bagi orang percaya, menjadi terang dan garam dunia.
Ketersediaan Firman Allah baik di rumah dan atau di sekolah adalah hal yang sangat mendasar sebab "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik ( 2 Timutius 3:16-17). Meski penyediaan Kitab Suci bukanlah jaminan tawuran berhenti karena tidak cukup disediakan, atau dibaca atau dipelajari dan direnungkan atau dihayati namun harus masuk melakukannya, tetapi penyediaan kitab suci di rumah dan sekolah adalah tindakan strategis untuk mengurangi tawuran pelajar ditengah semaraknya kegiatan agama namun sekaratnya moral-spiritual.
Ketersediaan Kitab Suci dan untuk kalangan Kristen adalah Alkitab sejak bangku sekolah dasar adalah usaha untuk melengkapi sesuatu yang telah di rencanakan dan dikerjakan seperti penyuluhan dan pendidikan/pelatihan.
Metode penyuluhan digunakan untuk memberikan penyuluhan melalui tatap muka seperti bimbingan langsung kepada para siswa yang belum terlibat (untuk preventif) dan kepada siswa yang sering terlibat tawuran. Sedangkan metode pendidikan/pelatihan digunakan untuk memberikan latihan dan pendidikan kepada siswa bagaimana seharusnya berbuat anti kekerasan dan perkelahian, dan bagaimana trik-trik mengatasi masalah psikologis yang sedang mereka hadapi.
Metode penyuluhan juga digunakan untuk memberikan informasi kepada para orangtua bagaimana agar mereka dapat membantu anaknya dalam menjalani fase-fase perkembangan psikologis, terutama pada para remaja, sehingga para orang tua memahami dan dapat bertindak secara proporsional dalam interaksi terhadap anak-anaknya.
Ahmad Nawawi memberikan kegiatan penyuluhan menghadapi tawuran sebagai berikut :
- Penyuluhan kepada orangtua, kegiatan penyuluhan ini dijadwalkan dalam 12 kali pertemuan, dengan kegiatan sebagai berikut:1 Tinjauan psikologis remaja dan permasalahannya
- Tinjauan biologis remaja dan permasalahannya
- Perkembangan psikologi remaja
- Tugas-tugas perkembangan remaja
- Ciri-ciri khusus remaja
- Kerawanan-kerawan fisik dan psikologis remaja
- Sikap orangtua terhadap anaknya (termasuk para remaja)
- Bimbingan orangtua terhadap anaknya di rumah
- Peer atau geng remaja dan permasalahannya
- Dampak tayangan kekerasan di TV terhadap perkembangan psikologis anak dan remaja
- Dampak tawuran pelajar bagi remaja, orangtua, dan masyarakat
- Pentingnya pendidikan agama dan nilai moral bagi anak dan remaja
- b. Pendidikan dan Pelatihan kepada para pelajar/remaja (pada SMU yang disinyalir rawan tawuran). Kegiatan pendidikan dan latihan ini dijadwalkan dalam 17 kali pertemuan, setiap pertemuan lamanya 2 jam, dengan kegiatan sebagai berikut:
- Tinjauan psikologis remaja dan permasalahannya
- Tinjauan biologis remaja dan permasalahannya
- Perkembangan psikologi remaja
- Tugas-tugas perkembangan remajaPertemuan
- Ciri-ciri khusus remaja
- Kerawanan-kerawan fisik dan psikologis remaja
- Trik-trik pemecahan masalah pada remaja
- Tinjauan hukum remaja dan permasalahannya
- Identitas dan jati diri remaja
- Sikap orangtua terhadap anaknya (termasuk para remaja)
- Bimbingan orangtua terhadap anaknya di rumah
- Sikap guru terhadap siswa
- Peer atau geng remaja dan permasalahannya
- Dampak tayangan kekerasan di TV terhadap perkembangan psikologis anak dan remaja
- Dampak tawuran pelajar bagi remaja, orangtua, dan masyarakat
- Pentingnya pendidikan agama dan nilai moral bagi anak dan remaja
- Profil remaja yang sukses dalam perkembangan psikologisnya
Pembacaan dan perenungan Firman Tuhan dilakukan secara simultan dan bersama-sama dengan kegiatan lainnya yang sesuai rencana program kerja lainnya diharapkan bukan saja mengurangi frekuensi tawuran pelajar, termasuk juga kalangan Mahasiswa tetapi menurunkan pertengkaran dan pelanggar yang menjadi pemicu pertengkaran.
Kiriman oleh Aneka Peluang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar